Bagaimana rasanya menjadi Abu Hudhaifah,
yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ayahnya mati terbunuh dalam
keadaan musyrik pada perang Badar, the first battle bagi kaum Muslimin. Sedih
pasti, orang yang bertalikan darah dengan kita, justru memusuhi dan memerangi
kita karena risalah yang kita emban. Namun demi kebenaran, perasaan tak lagi
dikedepankan. Begitulah dakwah, begitulah perjuangan, begitulah iman. Akan
senantiasa ada yang menentang, bahkan jika itu adalah ayah atau ibu kandung
sendiri. Tiada daya dan upaya melainkan hanya dengan pertolongan ALLAH.
Sungguh, tak ada yang lebih berat untuk dikorbankan di jalan-NYA melebihi
perasaan. Namun tatkala syari’at telah menjadi dasar segala-galanya, maka tak
ada lagi ruang untuk bersempit hati. Rongga dada musti lapang untuk menjalankan
titah-NYA, sekali pun harus bertentangan dengan kehendak manusia seluruhnya.
Kita hanya bisa berharap, semoga jiwa
dan ‘aqal senantiasa berada dalam kebenaran dan keikhlasan. Ikhlas tanpa
penawaran untuk diberi sedikit saja keringanan dalam berjuang. Karena kesadaran
dan keyakinan sepenuh hati, bahwa sesungguhnya ALLAH Rabbul ‘Izzati telah
menyediakan balasan bagi orang-orang yang senantiasa istiqomah dan teguh berjuang
untuk diin Islam yang Mulia, yakni Jannatun Na’im. Allaahumma, berilah
pertolongan kepada kami. Jadikanlah kami menjadi hamba-hamba yang layak
mendapatkan kemenangan dari-Mu.
ALLAAHU AKBAR!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar