Kamis, 12 Juni 2014



Bagaimana rasanya menjadi Abu Hudhaifah, yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ayahnya mati terbunuh dalam keadaan musyrik pada perang Badar, the first battle bagi kaum Muslimin. Sedih pasti, orang yang bertalikan darah dengan kita, justru memusuhi dan memerangi kita karena risalah yang kita emban. Namun demi kebenaran, perasaan tak lagi dikedepankan. Begitulah dakwah, begitulah perjuangan, begitulah iman. Akan senantiasa ada yang menentang, bahkan jika itu adalah ayah atau ibu kandung sendiri. Tiada daya dan upaya melainkan hanya dengan pertolongan ALLAH. Sungguh, tak ada yang lebih berat untuk dikorbankan di jalan-NYA melebihi perasaan. Namun tatkala syari’at telah menjadi dasar segala-galanya, maka tak ada lagi ruang untuk bersempit hati. Rongga dada musti lapang untuk menjalankan titah-NYA, sekali pun harus bertentangan dengan kehendak manusia seluruhnya.
Kita hanya bisa berharap, semoga jiwa dan ‘aqal senantiasa berada dalam kebenaran dan keikhlasan. Ikhlas tanpa penawaran untuk diberi sedikit saja keringanan dalam berjuang. Karena kesadaran dan keyakinan sepenuh hati, bahwa sesungguhnya ALLAH Rabbul ‘Izzati telah menyediakan balasan bagi orang-orang yang senantiasa istiqomah dan teguh berjuang untuk diin Islam yang Mulia, yakni Jannatun Na’im. Allaahumma, berilah pertolongan kepada kami. Jadikanlah kami menjadi hamba-hamba yang layak mendapatkan kemenangan dari-Mu.
ALLAAHU AKBAR!!!                         

Tidak ada komentar:

Posting Komentar