Selasa, 17 Juni 2014

Muhasabah!



Seperti hendak meledak. Beragam hal membuat depresi beberapa pekan ini. Puncaknya adalah hari ini, mungkin. Asam di lambung semakin terdorong oleh kalut yang memenuhi hipotalamus. Mual.
Selalu begitu tiap kali merasa stress. Banyak hal yang menunggu untuk diselesaikan. Tugas-tugas kuliah, laporan praktikum yang banyaknya tidak tanggung-tanggung, urusan pindah sekolahnya adik dari Banjarmasin ke Makassar yang belum juga “tersentuh”, adik-adik di perhalqohan yang harus selalu di-ri’ayah, amanah-amanah dakwah yang tak boleh dilalaikan, aqod-aqod yang belum tertunaikan. Semuanya bersatu padu ketika kondisi tubuh sedang buruk. Hingga akhirnya benar-benar drop. Sakit. Akhirnya semuanya justru terbengkalai. Duh, Gusti.

Mumet. Benar-benar pusing. Tak tahu harus bagaimana mengatasi semuanya satu persatu. manajemen waktu menjadi buruk. Jika kondisinya sudah seperti ini, bawaannya pengen pulang ke kampung halaman, ke rumah. Dimana disana ada Ibu untukku bermanja dan berkeluh kesah. Ibu yang akan menyemangatiku dengan pelukannya. Namun keadaan belum memungkinkan untuk pulang. Final test bahkan belum terlaksana. Maka yang dibutuhkan saat ini adalah kesabaran dan kekuatan. Allah, tolonglah…

Rasa bersalah pada diri sendiri muncul entah darimana. Semangat yang mestinya menjadi kawan setia, menghilang entah kemana. Berbagai macam problem pribadi membuatku menjadi sering mengeluh. Selalu berandai-andai yang tidak jelas. Bahkan pernah terbesit dalam hati rasa putus asa. Ingin menghentikan semuanya. Kuliah, dakwah, halaqoh. Astaghfirullaahal’azhiim. Sekuat hati kutepis godaan syaithan itu. Anehnya, seorang karib menyarankan padaku (yang entah serius atau bercanda) agar menikah saja. haha. Seperti menikah itu mudah saja, tak mengandung masalah, hanya bahagia yang dirasa. Huh, padahal kan pasti tidak sesederhana itu. Mengurus diri sendiri saja belum becus, gimana mau mengurus “anak orang”? Begitu fikirku. Soal menikah, aku punya target sendiri tentang hal itu. Yang pasti, saat ini yang menjadi focus utama adalah memantaskan diri. Bukan hanya untuk menikah, tapi juga untuk seluruh persoalan. Membenahi kuliah yang semester ini begitu kacau berantakan, membenahi manajemen waktu agar amanah-amanah tidak lagi terlalaikan, menunaikan janji yang tak mungkin dibatalkan, menjaga hati dari segala pikiran-pikiran buruk, dan tentu saja, memperbaiki hubungan dengan sesama yang kusadari sedikit “bermasalah” belakangan ini. Huffhh..

Muhasabah. Ada apa dengan diri ini? Seperti ada yang “error”. Yup.. Kusadari belakangan ini banyak “maksiat” yang terjadi. Mungkin itu yang menjadi penyebab “teguran” (atau mungkin “hukuman”?) datang menghampiri. Astaghfirullaahal’azhiim. Maksiat-maksiat yang boleh jadi kusadari atau tidak kusadari. Allah Maha Sayang dan Maha Lembut. Aku percaya, gelisah dan rasa sumpek di hatiku ini adalah caranya mengajakku kembali. Bukankah telah begitu sering, kita merasa begitu rindu pada Allah saat masalah demi masalah menimpa kita? Ya, kufikir begitu.

Allah. Apa yang dikatakan Rasulullaah memang tak ada yang salah, termasuk sabda beliau Shalallaahu ‘alayhi wa sallam..
Kebaikan selalu mendatangkan ketenangan, sedangkan dosa selalu mendatangkan kegelisahan.” (HR. Al-Hakim)
"Kebajikan itu adalah budi pekerti yang baik. Dan dosa adalah apa yang tersimpul di dalam diri engkau dan engkau benci jika ia diketahui manusia mengenainya.”(HR. Muslim )
Astaghfirullaahal’azhiim, yaa Rabb..
Introspeksi diri. Semoga bisa berubah menjadi lebih baik dari waktu ke waktu.

Seseorang yang kusayangi berpesan padaku: “Re, rere harus sehat. Ummat butuh da’I yang kuat dan sehat. Bukan yang sakit-sakitan. Jangan makan mie instant, jangan minum ultramilk dan teh kotak.” Kurang lebih seperti itu pesannya. Lho, kok pesannya malah tentang kesehatan? Nyambung dimana? Nggak tau. Pokoknya nyambung aja. Hehe. Juga pesannya agar: ISTIQOMAH!

Okewell, DON’T EVER GIVE UP! Masalah itu untuk dihadapi dan diselesaikan. bukan didiamkan!
Bismillaah, yaa Rahman yaa Ghaffaar. Tolonglah, dan ampunilah hamba..
Aamiin.

TODAY MUST BETTER THAN YESTERDAY, AND TOMORROW MUST BETTER THAN TODAY!!!

Kamis, 12 Juni 2014



Bagaimana rasanya menjadi Abu Hudhaifah, yang menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri, ayahnya mati terbunuh dalam keadaan musyrik pada perang Badar, the first battle bagi kaum Muslimin. Sedih pasti, orang yang bertalikan darah dengan kita, justru memusuhi dan memerangi kita karena risalah yang kita emban. Namun demi kebenaran, perasaan tak lagi dikedepankan. Begitulah dakwah, begitulah perjuangan, begitulah iman. Akan senantiasa ada yang menentang, bahkan jika itu adalah ayah atau ibu kandung sendiri. Tiada daya dan upaya melainkan hanya dengan pertolongan ALLAH. Sungguh, tak ada yang lebih berat untuk dikorbankan di jalan-NYA melebihi perasaan. Namun tatkala syari’at telah menjadi dasar segala-galanya, maka tak ada lagi ruang untuk bersempit hati. Rongga dada musti lapang untuk menjalankan titah-NYA, sekali pun harus bertentangan dengan kehendak manusia seluruhnya.
Kita hanya bisa berharap, semoga jiwa dan ‘aqal senantiasa berada dalam kebenaran dan keikhlasan. Ikhlas tanpa penawaran untuk diberi sedikit saja keringanan dalam berjuang. Karena kesadaran dan keyakinan sepenuh hati, bahwa sesungguhnya ALLAH Rabbul ‘Izzati telah menyediakan balasan bagi orang-orang yang senantiasa istiqomah dan teguh berjuang untuk diin Islam yang Mulia, yakni Jannatun Na’im. Allaahumma, berilah pertolongan kepada kami. Jadikanlah kami menjadi hamba-hamba yang layak mendapatkan kemenangan dari-Mu.
ALLAAHU AKBAR!!!                         

Minggu, 08 Juni 2014

Keep Fight!!!



Saat kau merasa hendak mundur dari medan perjuangan ini, ingatlah
wajah-wajah mereka. Apa yang ada di hatimu jika ketika mereka berkumpul
membicarakan perubahan, mengatur strategi perjuangan, dan saling
menguatkan dalam langkah menuju kemenangan, engkau tak lagi ada
di sana. Melainkan di tempat lain yang kau sadari tidaklah lebih baik?
MAKA BERTAHANLAH! ENGKAU TAK SENDIRI...

Sabtu, 07 Juni 2014



Kutemukan sebuah hati tengah gelisah oleh gulita yang meliputi jiwa.
Rasanya air mata ini terlalu angkuh untuk beranjak dari kelopaknya.
mengalirlah duhai bening, agar lega nafasku tuk kuhela. Agar hanyut segenap luka duka nestapaku.
Kulihat semu di bayangan yang mengikuti langkahku.
Jendela tua itu bisakah kau sedikit melonggar? Aku ingin belaian bayu tuk sejukkan gerah wajahku.
Seolah sudah sedemikian jauh perjalanan yang kutempuh, dan lengkaplah lelah gerogoti tiap inci jejakku, Menghapusnya, layaknya tak pernah ada.
Berkali-kali, silih berganti suka duka melalaikanku. Aku pernah meminta untuk duka yang tak ada habisnya, agar tak luput ingatku dari-Nya. Agar kudapati diriku seperti Ayyub dan sengsaranya.
“Tuhanku, biarlah nanah membusukkan sekujur tubuhku. Tapi kumohon sisakan hatiku untuk mengingat-Mu.”

Luka apa gerangan yang kuderita? Mengapa demikian perih kurasakan? Terlalu banyakkah nikmat yang telah kudustakan?
Sungguh aku seperti tak punya rupa untuk kembali. Sungguh aku seperti tak layak untuk bersimpuh memohon iba dan rasa kasih. Namun kemana lagi aku hendak berlari, jika bukan menuju-Mu?
Hening kisah abadi utusan-Mu, semakin sesakkan dadaku yang mengaku rindu.
Barkali-kali kuteriakkan cinta, kulantangkan asa untuk bersama dengannya.
Tapi kulihat diriku terlalu jauh tertinggal.
Saat masa seperti enggan bersamaku, aku kehilangan arah. Aku merasa semakin jauh dari-Mu…
Aku malu, mengapa aku kini? Banyak yang ku tahu tentang amanah-MU tapi aku sendiri tak amanah.
Begitu banyak teguranMU, yang ku yakini itu adalah wujud kasih-MU padaku.
Kini aku terpuruk, sungguh wahai ALLAH, aku merindukan-MU..
Aku masih di sini saat hujan menyapaku
Menahanku dalam kuyup yang membekukan hati
Rembesan pilu sampai di jiwa, menyibak luka yang kian menganga…
Aku rubuh.
Tak ada tiang untuk menyanggah. Aku lebur oleh dosa yang meninggalkan gelisah.
Aku hampir menyerah ketika Cinta datang menawarkan pundaknya untuk bersandar,
Aku hampir mati, hingga Cinta memelukku yang nyaris tenggelam dalam kubangan…
Tuhan…
Aku rapuh. Tak seberapa beban yang Kau beri, tapi aku rapuh. Aku takut semakin larut dalam durja.

Tangisku seperti angkuh untuk meratap.
Hatiku kurasakan kian mengeras.

Aku hampir lupa, bahwa aku dalam penjagaan-MU…
Kini tak ada temanku selain keberpura-puraan.
Meski ku tahu, aku tak pernah bisa membohongi jiwaku…
Sebilah nestapa menikamku.
Nuraniku seperti tak lagi peka. Aku layaknya patung yang tak berjiwa.
Aku seperti musafir yang kehilangan arah. Padahal peta ada di genggamku.
Kini, tak ada lagi di fikirku selain bagaimana kelak aku di hadap-Mu,,,
Saat mata, telinga, dan kulitku bersaksi atasku,
Hanya Rahmat-Mu duhai ALLAH
Yang kuharap sudi KAU beri untukku yang berbalut hina…

Ampuni aku…

*maryam nurjihad*

Jumat, 06 Juni 2014

Perahu dayung,
aku salah lagi. Aku "dimarahi" lagi. Tahukah kamu, perahu dayung? Meskipun aku seperti tak peduli, tapi aku selalu mencari perhatian pengayuh sampan di sebelahku. Entah aku diperhatikan atau tak dipedulikan. Namun anehnya, untuk mendapatkan itu aku selalu membuat kesalahan. Kesalahan yang tanpa kusadari, bisa saja menenggelamkanmu. Bodoh, bukan?
Hahah. Aku benar-benar aneh.
Apa susahnya menyapanya jika hanya sekedar berharap ia menoleh? Tapi untuk menyapa pun aku tak sanggup, perahu dayung. Aku khawatir engkau oleng karena ia terlalu sibuk "melihat ke arahku".
Aku ingin menepi sejenak. Tapi nanti, setelah tiba di pulau seberang sana. Di hatinya, di cintanya.

*Hey, tulisan macam apa ini?!! Aku harap hanya aku yang mengerti maknanya. Tapi sepertinya tidak. Ada "orang lain" yang mengerti "bahasa isyarat"ku tentangmu perahu dayung.. "Orang lain" itu selalu berjalan di belakangku, mengawasiku, mungkin menjagaku. Seperti "spionase" untuk hatinya sendiri. Hihi.
Awalnya aku merasa tak nyaman. Bayangkan saja, seseorang selalu "membuntuti"mu, apa itu nyaman? Aku pun begitu. Saat berusaha menampiknya, aku gagal. karena aku tak bisa mencegahnya atau melarangnya.
Sebaliknya, aku menjadi terbiasa dengan keberadaannya. Saat kurasakan hening di belakangku, sesekali aku menoleh. Memastikan bahwa ia tak bosan "menghantuiku". Berharap bahwa ia tetap ada disana, tak beranjak karena jenuh pada sikapku. Benar-benar aneh, kan? Entahlah.

Perahu dayung, tahukah kamu? Pengayuh sampan di sebelahku, dan "orang lain"yang "mengawasiku", itu adalah orang yang sama.
Dan aku sering melukai hatinya. Aku merasa sepeti itu. Dan sesering itu pula dia memaafkanku.
Ah, aku merasa terlalu kekanak-kanakan.

Perahu dayung, bersabarlah. Sebentar lagi kita tiba...