bermetamorfosis sempurnalah, maka kau akan kuat dan indah, layaknya kupu-kupu di taman Jannah...
Minggu, 20 Januari 2013
CINTA DALAM DO’A(Ahemmm :D)
Jangan salahkan sastraku yang hanya bagian
naluri
Salahkanlah kerinduan yang mengubah setiap kata
jadi puisi
Saat berjumpa, di ujung lidah munglin hanya ada
diam
Namun larik puisi menjadi saksi penantian malam
Kepada untaian surah kutitipkan sedikit asa
Sebab lewat lisan aku tiada kuasa
Rasa yang belum pantas diucap biarlah dipendam
dalam-dalam
Atau adukan saja pada lewat do’a
diam-diam
TheOtherAl-Faruq
Resky Furqaniiah
Inqilaby Hartanie
Rabu, 09 Januari 2013
Mengakhiri atau Melanggengkan Terorisme?
[Al-Islam 639] Tim Densus 88 kembali
menembak mati tujuh orang terduga teroris dan menangkap empat orang
lainnya pada Jumat (4/1). Mereka diduga terkait jaringan kelompok Poso
yang dipimpin oleh Santoso.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri Brigjen (Pol) Boy Rafli Amar
mengatakan, penangkapan bermula pada Jumat (4/1/2013). Dua teroris tewas
ditembak di halaman Masjid Nur Alfiah, di dalam Rumah Sakit Wahidin
Sudirohusodo, Makassar, sekitar pukul 10.30 Wita (kompas.com, 5/1/2013). Lima orang terduga teroris lainnya ditembak di Dompu NTB.
Seolah operasi penyergapan itu untuk menegaskan bahwa teroris masih
ada dan berkeliaran. Penegasan ini bisa jadi dilakukan untuk menurunkan
kritik atas aksi salah tangkap dan penganiayaan oleh arapat terhadap 14
orang di Poso pada akhir Desember lalu.
Aparat “Balas Dendam” dan Tak Profesional
PadaKamis, (20/12/2012) di Desa Kalora Kec. Poso
Pesisir Utara Kab. Poso terjadi penembakan terhadap anggota kepolisian
yang sedang berpatroli hingga empat anggota polisi meninggal dan lainnya
terluka. Pembunuhan terhadap siapa pun termasuk anggota kepolisian,
tanpa alasan yang dibenarkan syariat Islam tentu harus ditolak, tidak
bisa dibenarkan dan hukumnya haram. Allah SWT berfirman:
dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar(TQS al-Isra’ [17]: 33)
Di sisi lain penangkapan disertai dengan penyiksaan tanpa bukti-bukti
hukum tentu saja juga harus dikecam dan tidak boleh dibiarkan . Hal ini
akan melahirkan rezim represif gaya orde baru yang melanggar hak-hak
rakyat sebagai manusia.
Dan itulah yang terjadi terhadap 14 orang warga Poso pasca penembakan
terhadap anggota kepolisian itu. Menurut Adnan Arsal, tokoh Poso dan
juga deklarator perjanjian damai Malino, pasca penembakan itu Polisi
yang dikerahkan tidak mengejar kelompok pelaku, namun justru menyisir
perkampungan dan menangkap warga tanpa pandang bulu. “Polisi melakukan
salah tangkap dan ironisnya, mereka disiksa dan dianiaya hingga selama 7
hari pemeriksaan. Wajah dan tubuh mereka lebam dan babak belur,” tegas
Adnan (Seruu.com, 3/1/2013).
Dewan Pembina PUSAT Advokasi Hukum dan HAM (PAHAM) Indonesia, Heru
Susetyo, mengatakan, “Setelah diinterogasi secara tak manusiawi, disiksa
dan dihinakan selama 7 hari (20-27 Desember 2012), mereka dilepas
begitu saja. Tanpa permintaan maaf dan rehabilitasi nama baik, apalagi
pengantian biaya perobatan, tidak ada.”
Sapto Waluyo, Direktur Eksekutif Center for Indonesian Reform (CIR)
mengkritik, “Aparat Polisi sekali lagi menunjukkan sikap tidak
profesional dan tidak bertanggung jawab, seperti Densus 88 yang sering
salah tangkap dan salah tembak. Bukti permulaan yang dimaksud ternyata
hanya karena ke-14 warga itu ikut pengajian/taklim. Apa ikut mengaji itu
suatu kejahatan? Setelah proses interogasi yang penuh penyiksaan
ternyata tak ada bukti pendukung lain. Itu benar-benar kesalahan fatal
yang akan menumbuhkan kebencian kepada aparat. Bukan memberantas
terorisme, polisi malah menyuburkan kebencian baru.” (islampos.com, 3/1/2013).
Tindakan aparat itu tidak mencerminkan penegakan hukum apalagi yang
bersifat humanis, melainkan lebih berupa aksi balas dendam atas nama
hukum. Tindakan aparat itu seakan juga mengkonfirmasi bahwa program
kontra terorisme sangat stereotip menyasar mereka yang aktif dalam
kegiatan keislaman. Sekaligus bisa menanamkan rasa takut di tengah
masyarakat untuk mengikuti aktifitas keislaman, khususnya pengajian atau
ta’lim, karena khawatir dituduh teroris. Ini akan menjauhkan umat dari
Islam.
Extra Judicial Killing
Apa yang terjadi lebih terlihat sebagai proses eksekusi. Alasan telah
terjadi perlawanan dari dua orang terduga teroris di teras Masjid Nur
Alfiah di dalam RS Wahidin Sudirohusodo patut dipertanyakan. Mengingat
banyak alasan yang tidak mendukung bahwa terjadi perlawanan yang
mengharuskan ditembak mati. Ada saksi yang menyatakan bahwa tidak
terjadi baku tembak, tapi yang terjadi adalah dua orang yang diberondong
peluru hingga tewas lalu segera diangkut ke dalam mobil dan dibawa
pergi.
Pertanyaan lainnya, apakah tidak ada cara untuk melumpuhkan dan
apakah personel Densus tidak mampu melakukannya? Padahal aparat Densus
yang melakukan operasi itu berjumlah banyak, biasanya dilengkapi sarana
pengaman seperti rompi anti peluru dan dibekali persenjataan canggih
seperti yang terlihat dalam beberapa kali tayangan TV. Selama ini
personel Densus juga banyak dilatih oleh AS dan Australia yang katanya
sangat ahli. Sekali lagi, mau tidak mau operasi seperti itu tidak
mencerminkan proses penegakan hukum yang humanis, melainkan lebih kental
aksi balas dendam atas nama hukum.
Operasi penyergapan di Makassar itu menampilkan metode operasi aparat
Densus 88 yang makin provokatif. Betapa tidak, aparat Densus
mengeksekusi orang yang baru terduga teroris, dilakukan pada hari Jumat
saat menjelang shalat Jumat dan terjadi di teras masjid. Sungguh ini
melecehkan kehormatan masjid dan menyakiti perasaan umat Islam. Kejadian
ini kembali mengingatkan kepada penembakan tanpa perlawanan oleh aparat
Densus 88 terhadap ustadz Kholid di Poso saat pulang dari shalat Subuh
di Masjid, hingga menimbulkan perlawanan dari masyarakat yang mengenal
betul sosok ustadz Kholid yang bukan sosok teroris.
Jika cara kerja aparat seperti itu, kepercayaan masyarakat kepada
aparat akan makin tergerus. Disamping itu, dengan metode kerja yang
provokatif seperti itu justru bisa menyemai benih kebencian terhadap
aparat dan bisa melahirkan aksi pembalasan. Maka wajar jika ada anggapan
bahwa operasi kontraterorisme seperti itu bukannya untuk mengakhiri
aksi teror, tetapi justru melanggengkan terorisme demi berbagai
kepentingan dan tujuan.
Operasi itu juga memperlihatkan kesekian kalinya, aparat khususnya
Densus 88 melakukan pembunuhan terhadap terduga teroris tanpa melalui
putusan pengadilan. Yang dieksekusi itu statusnya baru terduga, belum
tersangka apalagi terdakwa dan tentu saja tanpa putusan pengadilan.
Status terduga itu sendiri dalam kerangka prosedur hukum tidak dikenal.
Karena itu tindakan pengeksekusian itu jelas merupakan extra judicial killing dan merupakan pelanggaran atas hak hidup seseorang.
Wakil Ketua Komnas HAM, Muhammad Nurkhoiron, mengatakan, justru
Densus dalam insiden maut itu melanggar undang-undang HAM. Meski, dua
orang yang polisi duga sebagai jaringan teroris tersebut masih sebatas
dugaan namun aparat sudah main hakim sendiri. Menurutnya, kejadian itu
cenderung diskenariokan atau rekayasa. “Giliran Makassar jadi kelinci
percobaan Densus 88. Teman-teman pemantau Komnas HAM menemukan indikasi
orang-orang teroris itu adalah “peliharaan” mereka juga. Komnas HAM
sedang kumpulkan bukti bahwa penanganan teroris dengan cara seperti itu
salah besar. Justeru densus yang melanggar HAM karena orang yang
ditembak mati baru dugaan. Jadi kejadian di Makassar itu ada skenario
untuk membuat masyarakat sekitar, terutama kalangan ustad, kalangan
pesantren, ulama tersudutkan, apalagi menjelang Pilgub. (tribunnews.com, 5/1/2013).
Menurut mantan komisioner Komnas HAM, Saharuddin Daming, kejadian itu
merupakan bukti terbaru yang dapat digunakan untuk menyeret petinggi
Densus 88 ke pengadilan. “Ini merupakan bukti bahwa Densus 88 sudah
melakukan pelanggaran HAM berat, sehingga mereka sangat patut diseret ke
penyelidikan projustitia pelanggaran HAM berat, termasuk pimpinan Polri
secara berurutan, karena dari merekalah Densus 88 memperoleh mandat
untuk melakukan operasi extra judicial killing (pembunuhan di luar jalur hukum).” (mediaumat.com, Sabtu, 5/1).
Padahal Rasul saw bersabda:
Sungguh lenyapnya dunia lebih remeh di sisi Allah dari pembunuhan seorang muslim (HR an-Nasai dan at-Tirmidzi)
Menyasar Islam dan Tidak Adil
Semua kejadian itu makin menegaskan bahwa program kontraterorisme
memang menyasar Islam dan para aktifisnya. Betapa tidak, sekedar ikut
ta’lim saja sudah dijadikan bukti awal untuk melakukan penangkapan.
Hal itu makin diperkuat dengan fakta begitu mudahnya melabeli sebagai
terorisme jika yang melakukan adalah muslim. Namun kenapa penembakan
tujuh anggota kepolisian di Papua selama tahun 2012 yang diduga
dilakukan oleh OPM tidak dilabeli sebagai terorisme. Padahal jelas
dilakukan oleh OPM secara terorganisir, sistematis dan dilatarbelakangi
tujuan politik separatisme untuk memisahkan diri dari negara RI.
Semua itu menegaskan bahwa program kontraterorisme di negeri ini sepenuhnya tetap mengadopsi dan mengekor pada war on terrorisme
yang dipimpin oleh AS. Selama tetap seperti itu maka Islam dan umat
Islam akan terus menjadi sasaran. Hanya ironisnya itu terjadi di negeri
ini yang mayoritas penduduknya adalah muslim.
Karena itu, umat Islam tidak boleh diam. Umat Islam harus bersuara
mengkritik dan menolak program kontraterorisme ala barat (AS) itu. Sebab
hal itu hanya akan memperdalam cengkeraman barat (AS) terhadap negeri
ini dan nasib umat Islam. Lebih dari itu, semua itu jelas merupakan
kezaliman terhadap umat Islam. Allah SWT berfirman:
Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang
menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada
mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak
akan diberi pertolongan.(TQS Hud [11]: 113)
Semua kejadian itu sekaligus membuktikan kesekian kalinya bahwa
selama negeri ini diatur dengan sistem selain Islam, umat akan terus
menjadi sasaran. Hal itu menegaskan pentingnya umat Islam untuk
bersegera turut dalam dakwah perjuangan untuk menerapkan syariah
Islamiyah dalam bingkai sistem Islam yaitu al-Khilafah. Wallâh a’lam bi ash-shawâb.[]