Hingga
detik ini, setelah hampir 2 tahun kepulanganmu pada-Nya Sang Pemilik Jiwa, aku
masih bisa merasakan hangat tubuhmu yang sering kusentuh, masih mengingat
dengan jelas raut wajahmu penuh iba itu. Kau sungguh lemah, dengan batukmu yang
tiada henti. Dulu, aku sering memperhatikanmu mengelus dadamu yang sakit.
Sesakit apakah ia? Hingga sering pula kulihat kau sembunyi2 meneteskan air mata
sambil memegangi dadamu. Hingga di puncak sakitmu, malam itu, aku benar2 tak
dapat memejamkan mata demi melihatmu yang sedang koma tak sadarkan diri. Aku
benar2 tak tega, melihat alat bantu itu mengeluarkan urin dari tubuhmu secara
paksa. Keningmu yang tak henti2 mengeluarkan keringat, dan aku tak lelah2nya
mengusapnya, lalu menciuminya. Aku berusaha membesarkan hatimu dengan
memperdengarkanmu lantunan ayat2 suci itu. Meski aku tak tahu, apa kau masih bisa
mendengarnya atau tidak. Aku tak tahan melihatmu terus menerus tak sadarkan
diri, tak makan, tak minum. Meski selang infus itu terus terpasang di tubuhmu.
Aku
masih mengingat dengan jelas, di tengah tidak sadarmu, pagi itu, Kamis 8
Desember 2011, aku masih menyuapi mu bubur, juga roti tawar yang kucelup dalam
susu putih hangat itu. Kau suka itu kan? Buktinya kau memakannya, mengunyahnya
padahal kau sedang tak sadar. Setiap aku berhenti menyuapimu, kau membuka
mulutmu, seperti hendak berkata “Aaa, beri aku lagi.” Oh Allah, aku baru tahu
itu adalah makanan terakhir yang masuk ke tubuhmu sebelum akhirnya kau
benar-benar di panggil oleh Allah, setelah lebih dari 24 jam kau koma.
Sakit
di dadamu itu, dengan batuk yang tiada henti. Fisikmu memang terlihat sangat
kurus dan lemah. Padahal aku tahu pasti kau bukan seorang perokok. Tapi bagiku,
kau adalah sosok laki-laki yang sangat kuat. Mama bercerita, bahwa kau lahir prematur.
Tubuhmu saat itu sangat lemah sekali. Saat kecil pun kau sering sakit-sakitan.
Hingga orang-orang mengira bahwa hidupmu akan sulit bertahan lama. Tapi
ternyata Allah berkehendak lain, bukan? Kau melewati hidupmu yang “tak normal”
itu selama 31 tahun. Itu luar biasa, kau tahu? Kau kuat, meski kau terlihat
lemah. Di tengah sakit yang menderamu itu, senyum ramahmu tak pernah surut dari
wajahmu. Orang-orang di sekitarmu begitu menyayangimu. Baik yang tua, remaja,
mau pun anak-anak kecil itu. Hingga setelah berbulan-bulan setelah
kepulanganmu, aku masih sering mendengar mereka mengenangmu sambil meneteskan
air mata rindu.
Aku
rindu padamu, teramat rindu hingga semua kenangan itu kini seperti berlomba
memenuhi rongga memoriku. Sesak. Aku benar-benar rindu. Rindu kau memanggilku
di tengah malam, saat aku telah lelap, memanggilku untuk memijit betis kecilmu
yang selalu pegal itu. Rindu menyisir rambutmu yang ikal, yang sering kau
tanyakan “Harum ji?”. Rindu memijit kepalamu yang sering kau keluhkan sakit. Rindu
membuatkan teh hangat manis kesukaanmu.
Yaa
Allaah yaa Rahman, kasihilah ia yang kini kembali pada-Mu. Yaa Ghaffaar,
ampunilah setiap dosanya. Yaa Rahiim, sayangilah ia. Jagalah ia. Tempatkan ia
di tembat terbaik di sisi-Mu. Masukkanlah ia dalam golongan orang-orang yang
Kau rahmati.
Aku
mencintainya karena-Mu, yaa Allah. Semoga kelak Kau mengizinkan kami berkumpul
kembali di dalam Firdaus-Mu… Aamiin yaa Mujiib as-Saa’iliin…
Makassar, 1 Oktober 2013. Pukul 23.54
Sebuah
bait2 rindu untuk Paman terkasih,
Almarhum Firdaus Jumain. Semoga Allah
menjagamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar