Ada sejumlah pertanyaan menarik tentang kedudukan sains dan Islam. Pertanyaan ini berakar dari fenomena-fenomena berikut:
Munculnya kegairahan baru atas sebagian cendekiawan Islam atas sains
dan keyakinan bahwa kemunduran Islam itu akibat melalaikan sains dan
terlalu menonjolnya fiqih.
Munculnya sebagian cendekiawan yang meyakini kembali bahwa Qur’an
adalah sumber inspirasi sains, setelah ditemukannya bukti-bukti sains
modern yang sesuai dengan ayat-ayat Qur’an. Ilmu yang terinspirasi Quran
ini bahkan sering diklaim sebagai sains Islami.
Di sisi lain: tingkat religiositas yang tetap belum membaik di
kalangan ilmuwan sains Barat – sekalipun dapat teramati bahwa tingkat
religiositas di kalangan ilmuwan sains ini masih lebih baik daripada
ilmuwan sosial.
Tiga fenomena ini membuat di satu sisi umat Islam semakin bersemangat
dalam beragama, namun di sisi lain mereka masih mencari bentuk,
bagaimana sesungguhnya integrasi sains dan Islam.
Pada berbagai jenis pendidikan Islam di Indonesia, integrasi ini
dicoba baru dalam taraf penggabungan kurikulum (Depdiknas+Depag),
sehingga total jam belajar siswa menjadi relatih jauh besar dibanding
sekolah biasa. Karena itu kajian bagaimana integrasi sains dan Islam itu
perlu ditelaah lebih jauh.
Sejarah Kedudukan Ilmu di dalam Islam
Kalau melihat sejarah, sering ada dugaan bahwa kemunduran dunia riset
Islam dimulai ketika iklim kebebasan berpikir – yang sering dianggap
direpresentasikan kaum mu’tazilah – berakhir, dan digantikan oleh iklim
fiqh yang skripturalis dan kaku. Teori ini terbukti bertentangan dengan
fakta bahwa munculnya ilmu-ilmu fiqh dan ilmu-ilmu sains dan teknologi
berjalan beriringan. Bahkan ketika ilmu dasar ummat musim mulai kendur,
teknologi mereka masih cukup tinggi untuk bertahan lebih lama.
Hunke dengan cukup baik melukiskan latar belakang masyarakat Islam di
masa khilafah Islam sehingga keberhasilan pengembangan teknologi
terjadi, dan ini bisa diklasifikasikan menjadi dua hal.
Pertama adalah paradigma yang berkembang di masyarakat Islam, yang
akibat faktor teologis menjadikan ilmu “saudara kembar” dari iman,
menuntut ilmu sebagai ibadah, salah satu jalan mengenal Allah
(ma’rifatullah), dan ahli ilmu sebagai pewaris para nabi, sementara
percaya tahayul adalah sebagian dari sirik. Paradigma ini menggantikan
paradigma jahiliyah, atau juga paradigma di Romawi, Persia atau India
kuno yang menjadikan ilmu sesuatu privilese kasta tertentu dan rahasia
bagi awam. Sebaliknya, Hunke menyebut “satu bangsa pergi sekolah”, untuk
menggambarkan bahwa paradigma ini begitu revolusioner sehingga
terjadilah kebangkitan ilmu dan teknologi. Para konglomeratpun sangat
antusias dan bangga bila berbuat sesuatu untuk peningkatan taraf ilmu
atau pendidikan masyarakat, seperti misalnya membangun perpustakaan
umum, observatorium ataupun laboratorium, lengkap dengan menggaji
pakarnya.
Kedua adalah peran negara yang sangat positif dalam menyediakan
stimulus-stimulus positif bagi perkembangan ilmu. Walaupun kondisi
politik bisa berubah-ubah, namun sikap para penguasa muslim di masa lalu
terhadap ilmu pengetahuan jauh lebih positif dibanding penguasa muslim
sekarang ini. Sekolah yang disediakan negara ada di mana-mana dan bisa
diakses masyarakat dengan gratis. Sekolah ini mengajarkan ilmu tanpa
dikotomi ilmu agama dan sains yang bebas nilai.
Rasulullah pernah mengatakan “Antum a’lamu umuri dunyaakum” (Kalian
lebih tahu urusan dunia kalian) – dan hadits ini secara jelas berkaitan
dengan masalah teknologi – waktu itu teknologi penyerbukan kurma. Ini
adalah dasar bahwa teknologi bersifat bebas nilai. Bahkan Rasulullah
telah menyuruh umat Islam untuk berburu ilmu sampai ke Cina, yang saat
itu pasti bukan negeri Islam.
Namun demikian, dalam pencarian ilmu, Islam memberikan sejumlah motivasi dan guideline.
Motivasi pencarian ilmu dimulai dari hadits-hadits seperti “Mencari
ilmu itu hukumnya fardhu atas muslim laki-laki dan muslim perempuan”,
“Carilah ilmu dari buaian sampai liang lahad”, “Carilah ilmu, walaupun
sampai ke negeri Cina”, “Orang yang belajar dan mendapatkan ilmu sama
pahalanya dengan sholat sunat semalam suntuk”, dsb
Sedang guideline bisa dibagi dalam tiga kelompok sesuai pembagian
dalam filsafat ilmu, yaitu dalam kelompok ontologi, epistemologi dan
aksiologi.
Ontologi
menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau diteliti.
Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya untuk
menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (al-Ghasiyah 17-18).
Maka tidak heran bahwa di masa al-Makmun, para pelajar tafsir
menyandingkan buku Almagest karya Ptolomeus (astronom Mesir kuno)
sebagai “syarah” surat al-Ghasiyah tersebut.
Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa
yang mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya
wajib pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum muslimin
melihat bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi
memerlukan angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu –
mempelajari teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas,
mesiu dsb. Dan bila untuk mempelajari ini mereka harus ke Cina yang
waktu itu lebih dulu mengenal kompas atau mesiu, merekapun pergi ke
sana, sekalipun menempuh perjalanan yang berat, dan harus mempelajari
sejumlah bahasa asing.
Dengan ontologi syariah ini, kaum muslim di masa lalu berhasil
mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat,
sesuai dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima:
wajib-sunnah-mubah-makruh-haram) dari perbuatannya.
Epistemologi
menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi Islam
mengajarkan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum
syara’pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan
dengan syara’, misalnya cloning manusia.
Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu,
ilmu seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks
epistemologinya adalah dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi
lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran, fisika, namun juga ilmu sosiologi
atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena setiap yang mempelajarinya
punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu digunakan. Berbeda
dengan sekarang ketika banyak mahasiswa di “menara gading”, dan ketika
turun ke masyarakat ternyata tidak mampu harus mulai dari mana dalam
menggunakan ilmunya.
Sedang aksiologi
menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu atau teknologi
adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada peradaban
(hadharah) manusia / masyarakat yang menggunakannya. Banyak hasil riset
yang walaupun dibungkus dengan suatu metode statistik, namun dipakai
hanya untuk membenarkan suatu model yang bias ideologis ataupun
kepentingan tertentu.
Pada masyarakat muslim penggunaan teknologi dibatasi hukum syara’.
Teknologi hanya akan digunakan untuk memanusiakan manusia, bukan
memperbudaknya. Teknologi digunakan untuk menjadikan Islam rahmat
seluruh alam, bukan menjajah negeri-negeri lain. Karena itu kebuntuan
untuk mencapai kemajuan pada negeri-negeri miskin – seperti yang terjadi
dewasa ini di Afrika – akan bisa didobrak dengan aksiologi syariah.
Qur’an sebagai Sumber Inspirasi Ilmu
Obsesi menjadikan Qur’an sebagai sumber inspirasi segala ilmu tentu
suatu hal yang positif, karena ini bukti keyakinan seseorang bahwa
Qur’an memang datang dari Zat Yang Maha Tahu. Namun, obsesi ini bisa
jadi kontra produktif jika seseorang mencampuradukkan hal-hal yang
inspiratif dengan sesuatu yang empiris, atau memaksakan agar kaidah
hukum empiris sesuai penafsiran inspiratifnya.
Contoh yang pertama misalnya ketika ada seseorang yang menafsirkan ayat:
“ … Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia …” (QS 57-al Hadid: 25)
Kami pernah mendapatkan seseorang yang ingin menggugat Hukum
Kekekalan Energi dengan landasan ayat ini, seraya mengajukan proposal
untuk membuat energy multiplier.
Energy Multiplier adalah pengganda energi. Alat semacam ini – kalau
ada – akan memiliki konsekuensi yang sangat jauh, karena dengan
rangkaian beberapa multiplier, teoretis energi 1 watt saja akan mampu
memberi energi untuk seluruh dunia. Tentu saja alat semacam ini secara
fisika maupun teknis mustahil. Namun perancangnya yakin 100% bahwa dia
benar, karena rancangan mesinnya diyakininya di-backup oleh ayat
al-Hadid tadi. Tentu saja ini penafsiran yang sembrono.
Sedang contoh yang kedua adalah ketika pada suatu saat, teori sains
yang berlaku dianggap cocok dengan suatu ayat, lalu beberapa abad
kemudian eksperimen membuktikan bahwa teori tadi keliru atau tidak
lengkap, lalu orang cenderung menolak penemuan baru itu dengan alasan
tidak sesuai dengan Qur’an. Hal seperti ini terjadi di abad pertengahan
di kalangan gereja di Eropa, yang menolak teori heliosentris dari
Copernicus dan Galileo, karena dianggap bertentangan dengan dogma
al-Kitab bahwa bumi adalah pusat perhatian Tuhan. Hal serupa – walaupun
dalam skala yang lebih kecil – juga terjadi di beberapa kalangan umat
Islam. Sebagai contoh: ketika di Qur’an disebutkan adanya 7 buah langit,
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan Dia
mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit yang
dekat dengan bintang-bintang cemerlang dan Kami memeliharanya dengan
sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. (Qs. 41-Fussilat:12)
Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang dekat dengan
bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempar
syaitan, dan Kami sediakan bagi mereka siksa neraka yang menyala-nyala.
(Qs. 67-al Mulk:5)
ada sejumlah orang yang kemudian menafikan perjalanan ke bulan atau
ke planet-planet, apalagi bila itu dilakukan orang-orang kafir yang
dianggap temannya syaitan. Kita tentu ingat bahwa “planet” seperti Venus
atau Mars dalam bahasa Arab akan disebut “bintang”. Mungkin di sini
tafsir kita yang perlu direvisi.
Religiousitas di kalangan Ilmuwan
Bagi orang yang menekuni sains dan al-Quran, akan didapatkan banyak
ayat yang menyentuh suatu cabang sains – yang baru bisa dikenali sebagai
sains setelah zaman modern. Karena saya mempelajari geodinamika, saya
amat tersentuh dengan ayat seperti berikut:
Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di
tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan…(QS 27 –
an-Naml:88).
Tersentuhnya adalah bahwa fakta pergerakan benua beserta
gunung-gunung di atasnya beberapa decimeter pertahun baru diketemukan
abad-20. Darimana Rasulullah, yang hidup 14 abad yang lalu, bisa
mengetahui fenomena ini, kalau bukan Yang Maha Berilmu yang
memberitahunya?
Hal serupa akan ditemui oleh orang astronomi, biologi, oceanologi dan
sebagainya. Pertanyaannya, mengapa tidak semua saintis kemudian menjadi
religious?
Jawabannya: tidak cukup hanya mengenal keberadaan Tuhan. Seperti
tidak cukupnya kita ketika sadar punya boss, namun tidak tahu apa
visi-missi boss, dan juga tidak tahu apa yang membuat boss senang atau
marah.
Mereka menganggap persoalan Tuhan ini persoalan pribadi, bahkan
bisa-bisa justru “menyalahkan” Tuhan ketika dilihatnya Tuhan “tak
berbuat apa-apa” ketika ada ummat-Nya yang menderita, tertindas, lapar
atau sakit.
Mereka mungkin akan menyembah Tuhan dengan suatu cara yang menurutnya
paling rasional. Mereka gagal memahami kemauan boss – karena mereka
berhenti dengan tahu bahwa ada boss, namun tidak mencari tahu, siapa
orang kepercayaan boss yang pantas mereka jadikan rujukan dan juga
teladan.
Wajarlah, bahwa dalam Islam dituntut dua jenis pengakuan: dikenal
dengan syahadat Tauhid dan syahadat Rasul. Tanpa mengikuti Rasul,
pengenalan keberadaan tuhan tidak akan banyak berbuah, karena kita tetap
belum tahu hidup kita mau dikemanakan. Jadinya kita tidak tahu bahwa
Tuhan akan menolong orang-orang yang tertindas atau lapar atau sakit itu
melalui tangan-tangan kita. Kita akan terinspirasi untuk melakukan
upaya itu setelah mengkaji manual yang diberikan Tuhan via para Rasul.
Di situlah kita tahu, bahwa kita hidup sebagai agen, untuk sebuah missi
pada sautu lahan yaitu planet bumi ini.
Integrasi Sains & Islam pada Pendidikan
Dengan mengetahui seluruh “duduk perkara” sains dan Islam di atas,
tampak bahwa hakekat persoalannya adalah memadukan agar pada setiap
aktivitas kita, setelah ada kerja keras dari kekuatan tubuh kita, ada
kerja cerdas berdasarkan sains dan kerja ikhlas berdasarkan Islam.
Dalam dunia pendidikan, yang biasanya akan dikembangkan pada seorang
anak didik adalah olah fikirnya (kognitif), sikapnya (afektif) dan
life-skill-nya (psikomotorik). Di sinilah perlu penelaahan yang mendalam
agar di setiap aspek ada muatan sains dan Islam secara sinergi. Bahkan
lebih jauh lagi, beberapa mata pelajaran bisa dipadukan sehingga
tercipta suatu fokus yang berguna secara praktis.
Sebagai contoh: Mengajarkan masalah air.
Kita bisa membahas mulai dari soal siklus air (IPA/fisika). Agar
terkesan, bahasan bisa dilakukan di tepi kolam atau sungai. Di situ
sekaligus ada pengetahuan tentang IPS/geografi. Kemudian bagaimana
manusia berbagi air (matematika). Lalu bagaimana hukum-hukum Islam yang
berkait dengan air (thaharah, hadits “manusia berserikat dalam air, api dan padang gembalaan”). Dan terakhir siswa diminta membuat karangan tentang bagaimana menjaga sumberdaya air (bahasa Indonesia / bahasa Inggris).
Contoh lain: mengajarkan masalah tuas.
Tuas atau pengungkit umumnya diberikan dalam pelajaran fisika (IPA).
Kenapa tidak melakukannya di tukang beras yang punya timbangan,
sekaligus mengenalkan pasar (IPS). Lalu anak-anak diminta menghitung
berapa Rupiah yang dibayarkan bila yang dijual sepuluh kilo beras dan
dua kilo gula pasir (matematika). Lalu diberikan hukum-hukum Islam
tentang larangan mengurangi timbangan (agama). Dan terakhir: buat
karangan tentang bagaimana agar pasar tampak rapi dan nyaman (bahasa).
Dalam cakupan yang lebih mikro, kita bisa pula memasukkan motivasi
Islam ke dalam semua kajian sains. Konon Imam al-Khawarizmi ingin
mengembangkan persamaan-persamaan aljabar karena ingin menyelesaikan
persoalan pembagian waris dalam Islam yang akurat.
Seorang pendidik muslim dapat membuat contoh-contoh yang amat relevan dengan sisi peran murid sebagai siswa/siswi muslim.
Misalnya: untuk matematika geometri, bisa dibuatkan contoh untuk
menghitung tinggi masjid atau luas areal yang diperlukan untuk membangun
masjid.
Untuk pelajaran fisika mekanika bisa dibuat soal berapa sudut lontaran meriam untuk dapat mencapai benteng kafir penjajah.
Untuk pelajaran kimia titrasi bisa dibuat soal berapa cc larutan yang
harus disediakan – sampai warnanya berubah – untuk mendeteksi adanya
lemak babi.
Demikianlah, masih banyak hal yang bisa dilakukan oleh para pendidik
muslim. Islam menjadi ontologi, epistemologi dan aksiologi dari semua
aspek sains, dan pada gilirannya, sains yang dipelajari semua terasa
terkait dengan kehidupannya praktis sehari-hari.
Yuph, Islam membumi. Sekolahpun jadi menyenangkan.
Dr. Ing Fahmi Amhar
Dosen Pascasarjana Universitas Paramadina
(Profesor Riset di BAKOSURTANAL)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar